Srikandi Bangsa


Sejak 5 Desember 1956
Pagi, Siang , Malam
Hingga Bergantinya Hari
Tak Pernah ada Letih
Terpancar di wajahnya
Dia Taburkan kami Semangat dengan Semangatnya
Tak Ada Kata tua
Walau dia sudah bercucu lima
Dia Srikandi yang selalu tampil Muda
Kami Memanggilnya Bunda

Bunda... semakin bertambah usiamu
Maka Selamat dan bahagia
Karena usiamu selau bermakna
Bukan hanya untuk Bangsa Indonesia
Tapi bahkan untuk dunia
Bunda …Doa kami untukmu
Semoga Allah Selalu Bersamamu
Memberimu Kesehatan dan Kesuksesan
Mengabulkan Semua Impian
Yang menjadi keinginanmu didalam kehidupan
Bambu Apus, 5 Desember 2007


Jumat, 25 Januari 2008

Anak Ibu Uga

KORAN TEMPO
Rabu, 7 Juli 2004
Amalia SiantiPemilu untuk memilih presiden yang pertama kali digelar di negeri ini, baru saja selesai. Seperti judul lagu Krisdayanti, Menghitung Hari, maka bisa dipastikan hari-hari selanjutnya merupakan saat yang mendebarkan bagi para calon presiden. Di hari-hari itulah suara mereka dihitung. Kendati pemilu sudah usai, selama kampanye kemarin ternyata ada kesan dan kenangan melekat pada seorang wanita berjilbab. Beberapa pekan lalu kami mendatanginya di sebuah rumah besar, asri di kawasan Bambu Apus, Jakarta. Dengan tutur kata serta tawa lepas ia tampak hangat menyambut dan meladeni wawancara. Amalia Sianti, nama wanita itu yang tak lain adalah putri sulung Wiranto yang sejak sebulan lalu sibuk kampanye calon presiden berduet dengan Solahuddin Wahid. Namanya disebut-sebut sebagai salah satu hal yang dipertimbangkan oleh sebuah partai berbasis Islam untuk mendukung Wiranto. Meski kemudian dukungan itu tak diberikan. "Sebagai anaknya, saya sangat hormat dan bangga memiliki bapak seperti beliau. Keputusan bapak mencalonkan diri sebagai presiden dibicarakan secara terbuka kepada kami keluarganya," kata Lia, nama panggilannya, membuka pembicaraan. Sepengetahuan Lia, pemberitahuan sang bapak terhadap soal penting ini dilempar ke forum keluarga belum lama. Tepatnya beberapa hari sebelum konvensi Golkar. Wiranto mulai serius mengumpulkan semua keluarga besar isteri, anak dan menantu lantas membicarakan masalah ini. Yang ia ingat, pertimbangan yang diajukan bapaknya dilandasi panggilan hati nuraninya setelah 30-an tahun berkarir di militer. Lia bersama ibu dan adik-adiknya mendukung sepenuhnya keinginan Wiranto. Caranya bukan dengan melibatkan diri sebagai tim sukses. Pastinya, berupa memberikan dukungan moral. Lia menyebut dukungan keluarga sebagai vitamin khusus buat bapak. Tugas keluarga sepintas berkisar soal kecil tampak sepele namun begitu penting. Lia, ibu, para menantu, ke dua adiknya Maya dan Inal yang bertugas mengingatkan kondisi dan kesehatan bapak, soal makan, istirahat, sholat dan sebagainya. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini hanya terbahak kecil sambil angkat bahu waktu menjawab selentingan kabar tentang gerakan Lia menggali dukungan kampanye Wiranto ke kantong-kantong komunitas dirinya dan suaminya yang disebut-sebut anggota Partai Keadilan Sejahtera. "Kok bisa ya begitu?" tanyanya pendek. "Begini deh, saya memang menikah dengan suami saya Mas Abdi Setiawan Effendi. Dia kawan lama saya sejak di SMU 70 dan di kampus UI dulu. Setelah menikah saya pakai jilbab dan suami memang berpenampilan seperti santri. Tapi kenapa sih selalu dikaitkan begitu. Pokoknya saya no comment." Lia mengaku sudah terlatih menerima hembusan-hembusan macam begini. Makanya wanita berkulit putih ini tampak adem ayem sangat tenang menghadapinya. Ketika bapak mencalonkan sebagai presiden kepada dirinya, ibu, ke dua adik dan para menantu, Wiranto mengingatkan akan risiko dan tantangan. Keluarga harus sudah siap lahir batin menerima hembusan aneka berita bersifat isu, teror bahkan ancaman. Lia bertambah paham setelah berbagai hal-hal yang disebutkan bapaknya makin marak dan beragam begitu masa kampanye capres-cawapres berlangsung. Ia menyebut soal kasus gugatan Kivlan Zein, beradarnya video compact disk Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang disisipi kasus bapaknya, dan lain-lain. Secara terus-terang penyuka warna hitam ini mengisahkan pengalaman sebagai anak kolong membuatnya tahan banting hadapi kehidupan. Sejak kecil bapaknya memang sudah menerapakan sikap disiplin, keras, tegas namun tetap bersikap demokratis. Sebagai anak tentara yang terbiasa berpindah-pindah karena mengikuti bapaknmya bertugas, hal itu berdampak terhadap kepribadiannya. "Ada baiknya juga bagi pribadi saya, yakni saya mudah menyesuaikan diri, berteman atau bergaul tidak pandang bulu. Pokoknya sangat bermanfaat." Justru ia pernah bingung dan shock ketika pertama kali menetap di Jakarta. Ia bingung menghadapi lingkungan pergaulan yang jauh berbeda dari beberapa tempat sebelumnya. Yang ia ingat pesan supaya pintar menjaga dan membawa diri dalam pergaulan jangan terseret ke hal buruk, apalagi dirinya perempuan sangat mudah mendapat bahaya. "Saya bisa melewatinya semua." Ada kisah yang ia ingat ketika remaja dan pernah bolos sekolah bersama teman-teman sekelas. Lia berkelit tindakan membolos ini diambil karena loyalitas kepada semua teman yang melakukan hal itu. "Di mata bapak, tindakan saya tetap dicap salah besar lantas dihukum," katanya. Kisah lain yang pernah dialaminya ketika lulus SMU. Secara terbuka ia mengajukan diri kuliah ke fakultas hukum, padahal sejak awal ke dua orang tua memintanya masuk fakultas kedokteran. Lia sangat hormat ketika secara bapaknya memberikan restu sesuai argumentasinya. Hal yang sama terjadi saat ia menentukan calon suaminya. "Banyak berita tak sedap di luaran ketika pernikahan saya dengan Abdi yang bukan dari kalangan tentara. Bapak oke dan sangat care, menghormati pilihan saya. Sejak kecil, kami dilatih bapak bersikap sederhana, apa adanya. Karena itu saat saya bergaul dengan siapapun tidak pernah menyertakan nama bapak," akunya pelan. Teman-temannya baru tahu kalau ia anaknya Wiranto setelah ia mengajak mereka ke rumah. "Untuk hal-hal tidak penting saya paling tabu mengaku-aku anak Wiranto. Sebisa mungkin dalam bergaul orang kenal saya karena pribadi saya, bukan karena anak bapak. Mereka baru tahu sewaktu saya ajak ke rumah. Besoknya di kelas heboh, tapi saya tetap biasa saja," ujarnya mengenang masa SMU dulu. Lucunya, di masa pemerintahan Soeharto berjaya, Lia pernah diisukan bakal menikah dengan Dandy, putra Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut. Bersama mamanya, Uga Wiranto ia tertawa terbahak-bahak. "Gimana tidak ngakak, sebab saya belum pernah kenal atau bertemu dia apalagi menikah. Pun pergaulan ia dan saya berbeda. Ada-ada saja, makanya saya tidak terpancing diberitakan akan adanya suksesi besar lewat pernikahan putra-putri Tutut dan bapak," katanya. Dari suaranya masih terdengar kegeliannya. Isu dan omongan dari luar tidak mengganggunya. Seperti halnya ia tak bergeming pada 1997 ia menjadi anggota termuda MPR dari Fraksi utusan Golongan. Jabatannya ini dianggap sebagai bentuk nepotisme dan dikaitkan dengan jabatan bapaknya. Meskipun tuduhan itu terlihat benar, Lia beragumentasi di tahun itu pengangkatannya mewakili forum kepemudaan yang aktif digelutinya, yaitu FKPPI. "Tak banyak yang tahu soal itu. Saya pun malas meladeni pers yang menyudutkan saya, seperti halnya enam bulan kemudian saya mundur dari MPR. Saya tak mau gembar-gembor, buat apa? Ada kepuasan sikap. Itu nyatanya hal pertama saya lakukan, baru kemudian banyak anggota DPR lain melakukan hal sama," kilahnya dengan suara pelan. Ia memang terbiasa bersikap tenang dan tidak panik. Hal manis yang pernah ia rasakan semasa menjadi anggota termuda di MPR, ia pernah beberapa kali memimpin sidang, karena peraturannya sidang dibuka atau ditututp oleh anggota termuda dan tertua. Yang sulit dilupakan Lia dengan gayanya yang masih polos, apalagi ia belum menyelesaikan kuliah kok bisa jadi pimpinan sidang. "Ada perasaan campur antara percaya nggak percaya kok saya memimpin sidang. Yang saya rasakan belajar politik ya di MPR itu, walau singkat, rasanya tetap menawan sampai kapan pun," kata dia. Setelah menikah dan melahirkan anak pertama, ia berani mengambil keputusan besar untuk menjauhi dunia politik dan karier. Padahal sebelumnya ia sukses sebagai konsultan hukum di sebuah kantor pengacar kondang. Awalnya ia sempat bekerja sambil merawat putri pertamanya. Namun ia tidak tega manakala meninggalkan buah hatinya berangkat ke kantor. Di tempat kaerja pikirannya ingat si kecil. "Saya terbiasa mengerjakan sesuatu secara total. Sejak anak melahirkan pikiran jadi bercabang dua, makanya saya lebih condong pilih ke keluarga, mungkin ini memang sudah jalan hidup saya... Sekarang saya begitu menikmati jadi ibu, karena ingin menjadi universitas pertama bagi anak-anak saya." Bagi ibu dua anak itu setiap waktu memang tersita buat kelaurga. Ia sangat menikmatinya. Maka, tak mau ikutan repot walau banyak yang menawarkan dirinya terjun ke politik. Ia menggeleng mantap memilih tetap jadi isteri dan ibu. "Saya pribadi ikut senang kalau bapak menang sebagai presiden, artinya saya harus mendukung bapak melakukan tugas berat ini. Hal lain yang saya siapkan seandainya bapak kalah, ya kembali bercengkrama bersama anak-anak saya," ucapnya menutup pembicaraan yang panjang ini. hadriani p Amalia Sianti Lahir : Solo, 27 April 1976 Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1994–1999) Anak pertama dari tiga bersaudara Suami: Abdi Setiawan Effendi Anak : 1. Alifia Azzahra (1,5 tahun) 2. Muhammad Abdillah (tiga bulan) Aktivitas dan karier: 1. Ketua wanita dan Kepemudaan Forum Komunikasi Putra Putri Indonesia (FKPPI) (1996–1999) 2. Tenaga Sukarelawan di Yayasan Pendidikan Pesantren Al-Fat Gorontalo (1995–1999) 3. Anggota termuda MPR dari Fraksi Utusan Golongan (1997-mengundurkan diri setelah enam bulan) 4. Konsultan hukum di kantor hukum Hadiputranto, Hadinoto Partners, tahun 1999.

Tidak ada komentar: